Kamis, 21 Januari 2016

BLUE ECONOMY LOMBOK & DODOL

BLUE ECONOMY LOMBOK & DODOL

Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan daerah kombinasi ekosistem daratan dan perairan yang kaya secara ekonomi dan ekologi. Daratan terdiri dari pegunungan, dataran landai, dan pulau-pulau kecil, sedangkan perairannya luar biasa dengan kombinasi perairan sungai-sungai besar, daerah basah, pesisir dan laut.
Jenis sumber daya alamnya juga beragam: sumber daya hayati dan non-hayati dengan keanekaragaman potensi ekonomi dan ekologi yang tinggi. Namun potensi kerusakan alam jugabesar. Peningkatan intensitas kegiatan ekonomi di daratan akan menyebabkan kerusakan sumber daya alam, sedangkan kerusakan alam di daratan akan merusak perairan: sungai, pesisir, dan laut, berupa degradasi lingkungan karena pencemaran dan sedimentasi. Sementara itu intensitas kegiatan di perairan sendiri juga terus mengancam kerusakan lingkungan perairan.
Kerusakan alam di daratan dan perairan akan berbalik mengancam keberlanjutan pembangunan ekonomi. Sementara itu tantangan pembangunan makin kompleks, terutama sebagai akibat kompetisi ekonomi global, perubahan iklim, dan kependudukan. Untuk itu perlu Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan adalah Konsep Blue Economy.
Kualitas rumput laut Indonesia termasuk yang terbaik di dunia. Karena itu, Republik Rakyat Cina dan Singapura memborong rumput laut Indonesia dengan total kontrak dagang sebesar US$ 58 juta atau senilai Rp 782,71 miliar. Dunia mengakui kualitas rumput laut Indonesia. Dari total ekspor rumput laut dunia, Indonesia mampu menjadi pemasok utama rumput laut dunia dengan pangsa sebesar 26,50 persen dari total US$ 1,09 miliar permintaan dunia,”. (Nus Nuzulia Ishak, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan).
Untuk produk rumput laut kering, permintaan dunia terutama sangat tinggi. Produk tersebut diolah menjadi bahan baku makanan olahan, makanan hewan peliharaan, bahan makanan tambahan, pengendalian pencemaran, dan bahan kecantikan.Hal ini menjadi tantangan bagi pelaku usaha rumput laut untuk mempertahankan dan lebih meningkatkan kualitas budidaya rumput laut Indonesia. Pelaku usaha juga diminta meningkatkan produksi produk rumput laut yang bernilai tambah.
Sekarang rumput laut sudah jadi roh perekonomian masyarakat Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dusun Gerupuk, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut berada sekitar 60 kilometer arah selatan Kota Mataram, merupakan bagian dari Kabupaten Lombok Tengah.
Terdapat sembilan kelompok nelayan yang bergelut pada budi daya rumput laut jenis Eucheuma cottoni di Teluk Gerupuk. Setiap kelompok memiliki 10-15 orang anggota nelayan. Setiap anggota kelompok nelayan itu memiliki 1-5 area budi daya rumput laut yang dikenal dengan sebutan "long line" atau area budi daya rumput laut yang ditandai dengan bentangan tali dengan ukuran 50 x 50 meter. 
Budi daya rumput laut di kawasan Gerupuk tidak mengenal musim, sepanjang tahun bisa dilakukan. Setahun bisa enam kali panen, atau setiap 1,5 bulan waktu budidaya sudah bisa dipanen. Mei hingga Agustus merupakan waktu yang paling tepat untuk budi daya rumput laut. Bulan lainnya juga dibolehkan namun hasilnya kurang memuaskan terkait cuaca. 
Setiap "long line" dapat menghasilkan 2,5 ton rumput laut basah, dan jika dikeringkan menghasilkan 375 kilogram, atau setiap satu kwintal (100 kilogram) rumput laut basah yang dikeringkan akan menjadi 15 kilogram rumput laut kering.
Harga jualnya mencapai Rp1.000/kilogram rumput laut basah, dan Rp5.000/kilogram rumput laut kering, sehingga omset yang dapat diraih dari satu "long line" dapat mencapai Rp15 juta.
Satu anggota kelompok ada yang memiliki hingga lima `long line` sehingga bisa menghasilkan cukup banyak uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Para nelayan di teluk Gerupuk Desa Sengkol mulai berkeinginan hendak menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi, mereka berharap anak-anak mereka tidak seperti orang tuanya yang hanya mampu bersekolah sampai Sekolah Dasar.
Apalagi, mereka juga menekuni aktivitas rutin yakni menangkap ikan di laut, dan usaha budi daya lobster, yang mampu menghasilkan jutaan rupiah setiap bulan.
Para nelayan di Teluk Gerupuk mengakui, usaha budi daya rumput laut di kawasan itu sudah cukup lama, apalagi telah ada instalasi Balai Budi Daya Laut Lombok, salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Jenis rumput laut jenis Eucheuma cottoni yang dikembangkan di Teluk Gerupuk itu awalnya didatangkan dari Maumere, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 2006. Setelah dibekali pengetahuan teknis, para nelayan di sana mulai menggeluti usaha budi daya rumput laut itu.  Usaha budi daya rumput laut itu makin menggeliat ketika para nelayan mendapat dukungan paket bantuan pengembangan usaha dari Pemerintah Provinsi NTB, berupa tali untuk "long line", dan peralatan lainnya, serta bibit rumput laut.
Bantuan modal usaha bergulir itu nilainya sekitar Rp10 juta per paket, yang diberikan kepada sedikitnya 20 orang nelayan dari berbagai kelompok usaha budi daya, setiap tahun anggaran sejak 2010. Untuk mengembalikan bantuan modal usaha itu, bisa hanya dalam dua kali panen, sehingga empat kali panen berikutnya merupakan keuntungan bagi nelayan yang menggeluti usaha budi daya rumput laut. Para nelayan di Teluk Gerupuk itu mengaku akan lebih giat lagi berusaha demi peningkatan kesejahteraan keluarga, dan capaian hidup yang lebih baik di masa mendatang. 
Pengembangan agribisnis rumput laut merupakan salah satu program unggulan yang dirangkai dengan program Bumi Sejuta Sapi (BSS) dan pengembangan agribisnis jagung, yang dikenal dengan sebutan Pijar (sapi, jagung dan rumput laut). 
Program Pijar mulai diimplementasikan pada tahun anggaran 2010, yang terus berlanjut hingga 2012, dan diupayakan akan terus berkelanjutan. 
Kegiatan prioritas dalam pengembangan rumput laut antara lain pengembangan kawasan minapolitan meskipun terbatas pada komoditas rumput laut. Berbeda dengan daerah lainnya yang baru mencari kawasan pengembangan minapolitan. Pengembangan masyarakat pesisir berbasis rumput laut merupakan tindak lanjut dari program revitalisasi bidang kelautan dan perikanan. Secara nasional pemerintah telah menetapkan revitalisasi bidang kelautan dan perikanan dan komoditas yang dipilih adalah tuna, udang dan rumput laut. Namun rumput laut merupakan komoditas unggulan yang saat ini lebih banyak diandalkan sebagai komoditas ekspor terbesar di bidang perikanan dan kelautan.
Bahkan, rumput laut produk Indonesia menempati urutan pertama eksportir komoditi perikanan dan kelautan di dunia. Selain minapolitan, Lombok Tengah juga tengah mengembangkan program pengembangan bibit rumput laut berkualitas, bantuan sarana untuk pengembangan rumput laut dan penanganan pascapanen, serta progam pendukung lainnya. 
Ada 10 sentra minapolitan masing-masing lima lokasi di Pulau Sumbawa dan Lombok, yakni di Pulau Lombok salah satunya di Teluk Gerupuk dengan potensi kurang lebih 200 hektar, namun belum setengah yang diberdayakan. Minapolitan merupakan kerangka berpikir dalam pengembangan agribisnis berbasis perikanan di suatu daerah. Minapolitan adalah wilayah yang berisi sistem agribisnis berbasis perikanan dengan penggeraknya usaha agribisnis.  Keberhasilan pengembangan minapolitan sangat ditentukan ketika memilih pusat-pusat usaha perikanan, lalu diciptakan sistem agribisnis di dalamnya sehingga bisnisnya akan berkembang.
Salah satu produk agribisnis dari minapolitan di Pulau Lombok adalah dodol rumput laut. Dodol rumput laut adalah ikon makanan oleh-oleh dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tekstur dodol kenyal, agak liat di gigi, dan terasa asam manis di lidah. Rasanya bermacam-macam buah dan sayur. Seperti rasa sirsak, semangka, nangka, labu siam, tomat, dan lain-lain. Akan terasa kecut jika kita mencoba rasa sirsak layaknya rasa buah sirsak. Terasa manis apabila yang dicoba rasa nangka. Bahan bakunya dari tepung rumput laut yang dicampur gula dan buah-buahan yang masih segar. Makanan ini mengandung serat dan karbohidrat yang cocok untuk makanan pencuci mulut setelah makan siang.
Kemasannya bermacam-macam mulai dari keranjang bambu, toples mika, dan kotak kertas. Harga dodol dalam kotak kertas mulai Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per dus dengan berat sekitar 200 gram. Yang paling unik kemasan dari bahan anyaman bambu yang sudah diatur dalam kemasan beraneka rasa. Sangat cocok untuk oleh-oleh di kantor karena kemasannya unik dan harga per paket antara Rp 75.000 sampai Rp 150.000. Dodol rumput laut ini terbuat dari tepung rumput laut, gula dan essen Kandungan gizi per 100 gramnya adalah : Karbohidrat- 65,93gr, lemak - 0,24gr, Protein--0,15gr, Serat---0,29gr, Vitamin C--5,97mg
Bahan baku untuk membuat dodol rumput laut, adalah rumput laut jenis Eucheuma cottoni, yang tengah dibudidaya di Teluk Gerupuk, Lombok Tengah. dikarenakan kandungan kappa karagenan-nya. Kappa karagenan mempunyai amilopektin yang lebih besar dibanding Eucheuma spinosum. Eucheuma cottoni mempunyai daya ikat yang lebih kuat. Sehingga rumput laut jenis ini sangat cocok untuk pembuatan dodol Rumput laut.
Kandungan karbohidrat pada rumput laut lah yang memberikan efek lebih yaitu sebagai penstabil berat badan untuk tetap di angka ideal, dus efek bonus lainnya yaitu tubuh nan ramping padat. Meski kandungan karbohidratnya sebagian besar berupa senyawa gumi yaitu polimer polisakarida yang dikenal juga sebagai dietary fiber cukup sulit diserap pencernaan manusia, efek rasa kenyang dari kandungan ini yang mencegah kita mengkonsumsi makanan lain untuk waktu yang cukup lama. Konsistensi pola makan ini dalam jangka panjang tentunya membuat kita terbiasa untuk tidak makan berlebih, yang akhirnya menstabilkan berat badan pada kondisi ideal.
Beberapa kandungan nutrisi lain rumput laut yang juga bermanfaat bagi tubuh: Vitamin K, Kalsium, Zat Besi, Asam Lemak Omega 3 dan yodium. Jenis-jenis nutrisi ini lebih jauh lagi bisa mencegah pengeroposan tulang, pencegahan kanker, mengurangi gejala penyakit hipertensi dan menegaskan lagi ulasan di paragraf sebelumnya, menjaga tubuh awet langsing namun ideal.
Selama ini sebagian besar produksi rumput laut Provinsi NTB dipasarkan dalam bentuk rumput laut kering untuk diperdagangkan antar provinsi ke Bali, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan ke Jakarta untuk selanjutnya di ekspor ke manca negara seperti China, Hongkong, Philippina, Jepang dan Eropa. Hanya sebagian kecil yang telah diolah menjadi olahan seperti manisan, dodol, jelly, sirup, snack, mie dan selai.  Kedepannya di Provinsi NTB khususnya Pulau Lombok diharapkan mampu mengolah rumput laut menjadi produk olahan Alkaline Treated Carrageenan (ATC), Semi Refine Carrageenan (SRC) dan Refine Carrageenan (RC).
Semakin mendunianya beberapa makanan khas Indonesia seperti Gudeg Jogja, Rendang dari Padang, bukan tak mungkin disusul pula oleh makanan olahan rumput laut dari Pulau Lombok ini yaitu Dodol Rumput Laut.
Dodol rumput laut khas Pulau Lombok diharapkan mampu menjadi ikon oleh-oleh khas Pulau Lombok karena merupakan salah satu bentuk usaha dan investasi model Blue Economy yang merupakan salah satu pengembangan wilayah Kawasan Teluk Dan Pesisir --Model Pengelolaan Teluk, Pesisir Dan Daratan Terintegrasi (Blue Economy Zone).
Produk agribisnis dodol rumput laut merupakan salah satu inovasi dan kreaktivitas yang dapat memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat namun tidak merusak lingkungan karena tidak ada sisa limbah dari satu proses menjadi bahan baku dari proses produksi yang lain. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip-prinsip dan elemen Blue Economy.
Inovasi Bisnis Dodol Rumput Laut : Pertumbuhan Ekonomi Naik, Pendapatan Dan Kesejahteraan Masyarakat Meningkat, Namun Laut Dan Langit Tetap Biru.

FILSAFAT K3 TENUN SONGKET SUKARARA

FILSAFAT PEKERJA WANITA & K3 TENUN SONGKET
DI DESA SUKARARA, LOMBOK TENGAH

Pulau Lombok adalah salah satu pulau penghasil kain tenun tradisional songket. Pengrajin kain tenun songket di daerah Lombok tersebar luas di berbagai pelosok desa, dan sistem pengerjaannya rata-rata dilakukan secara tradisional menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang memiliki karakteristik, motif, dan makna tersendiri. Pembuatan kain tenun ini bermula dari masa kerajaan suku Sasak Lombok dalam bentuk “Kain Purbasari” yang biasanya dibuat atau di desain hanya untuk anggota keluarga kerajaan (bangsawan) Suku Sasak dalam bentuk “Kain Sarung”. Dengan berbagai jenis motif dan makna simbol yang memiliki nilai-nilai spiritual dan disakralkan oleh masyarakat Suku Sasak pada zaman kerajaan pada saat itu. Seiring perkembangan zaman, pada saat ini masyarakat Lombok mengembangkan kerajinan kain tenun sebagai salah satu produk untuk meningkatkan perekonomian dan sebagai salah satu pusat pengembangan pariwisata sehingga wisatawan dapat berkunjung untuk menikmati hasil kerajinan kain tenun Suku Sasak. Berbagai macam jenis produk yang kini dikembangkan para pengrajin kain tenun songket seperti bahan pakaian, selimut, hiasan dinding, dan masih banyak yang lainnya namun itu semua tidak terlepas dari nilai-nilai sepiritual dan memiliki simbol-simbol tertentu pada setiap jenis tenun kain songket yang dihasilkan pengrajin.
Pusat kerajinan kain tenun songket tersebar di NTB (Nusa Tenggara Barat) antara lain di Desa Pejanggik, Desa Pringgasela Lombok Timur, Desa Rango Kabupaten Dompu, Kelurahan Raba Kabupaten Kota Bima, Desa Renda Kabupaten Bima, dan Desa Sukarara Kecamatan Jonggat Lombok Tengah. Pada saat ini, penghasil kain tenun songket Suku Sasak tradisional Lombok salah satunya adalah Desa Sukarara Kecamatan Jonggat Lombok Tengah. Masyarakat di Desa Sukarara ini sudah membuat kerajinan kain tenun songket sejak turun-temurun menggunakan alat tenun tradisional. Desa ini sangat menarik untuk dikunjungi karena kegiatan di desa ini, sebagian besar masyarakatnya melakukan pekerjaan menenun kain songket tradisional. Kegiatan menenun di Desa Sukarara hanya dilakukan oleh kaum perempuan dan ini akan ramai pada saat selesai melakukan kegiatan panen (mengambil hasi bumi), karna penduduk Desa Sukarara sebagiannya lagi bukan sebagai pengrajin tetap. Para pengerajin di Desa Sukarara melakukan kegiatan menenun hanya untuk mengisi waktu luang ketika mereka tidak melakukan kegiatan bertani, bisa dikatakan menenun dijadikan pekerjaan sampingan. Dan itu berlaku bagi para ibu-ibu yang tidak terlalu memahami tentang tenun kain songket. Desa Sukarara merupakan penghasil kain tenun songket unggulan yang memiliki ciri khas motif dan makna simbol tersendiri sehingga berbeda dari penghasil kain tenun di desa-desa lainnya.
Ciri khas motif dan makna simbol dengan warna nan indah dan menawan membuat kain tenun songket Desa Sukarara sebagai salah satu penghasil songket yang tersohor sejak zaman kerajaan Suku Sasak. Bukan saja untuk estetika, status sosial atau sebagai pelindung tubuh dari pengaruh keadaan alam lingkungan, tetapi juga sebagai sebuah simbol kepercayaan adat yang sakral yang sangat dipercaya dan diyakini oleh masyarakat Desa Sukarara. Begitu juga bagi pengrajin kain tenun songket tidak sembarang penenun bisa melakukan pekerjaan ini, terutama untuk pembuatan kain tenun songket yang memiliki motif dan makna simbol tersendiri seperti kain tenun songket Subhanala. Kain songket jenis Subhanala hanya boleh dibuat oleh seorang gadis dara yang masih perawan dari keturuan berdarah biru (bangsawan kerajaan) dan yang boleh mengenakan kain tenun songket Subahnala ini hanya sorang Raja (Raja Panji Sukarara) dan Ratu (Ratu Dinde Terong Kuning) Suku sasak.

A.              KAJIAN ONTOLOGI

Kerajinan kain songket Desa Sukarara Kecamatan Jonggat Lombok Tengah merupakan sentral industri rumah tangga unggulan dimana merupakan bagian dari sumber kerajinan kain songket Desa Sukarara Lombok Tengah yang didukung oleh tersedianya sumber daya alam dan sumber daya manusia yang menguasai kerajinan kain songket yang diwariskan secara turun temurun. Sehingga kelestarian kain songket Desa Sukarara tetap terjaga kualitas dan estetikanya sampai sekarang. 
Pulau Lombok sudah dikenal dalam sejarah berabad-abad yang silam. Di dalam kitab Nagarakertagama karya Pujangga Jawa terkenal di abad ke- 14 Mpu Prapanca (1365) nama pulau Lombok sudah disebutnya di dalam pupuh XIV, bait 3 dan 4 sebagai Lombok Mirah. Hal ini dikarenakan waktu itu Lombok termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit ( Dalam salam, 1992: 1293-1478 ). Letak pulau Lombok terletak di Indonesia bagian timur, tepatnya di sebelah timur pulau Bali. Pulau Lombok merupakan sebuah pulau yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), di mana pulau Lombok adalah pulau yang didiami oleh Suku Sasak.
Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "Sa'-Saq" yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. Banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus (dalam Isromi, 2013: 45). Pada awalnya sejarah Kain Songket di Desa Sukarara memiliki cerita tersendiri yakni kain songket ini pertama digunakan oleh seorang raja dan ratu yang bernama (Raja Panji Sukarara dan Ratu Dinde Terong Kuning). Raja dan ratu ini menggunakan baju atau sarung songket “subahnala”, karena sebagai raja dan ratu agar terlihat berwibawa atau lebih terhormat dengan pakaian adat tersebut.
Songket adalah suatu teknik atau cara memberikan hiasan pada kain tenunan. Songket sendiri berasal dari “Sungkit“ yang artinya mengangkat beberapa helai benang lungsi dengan lidi sehingga terjadi lubang-lubang kemudian dapat dimasukan benang pakan dari benang emas atau perak secara berulang-ulang. Biasanya pola membuat songket  dilakukan dengan cara menghitung banyaknya benang lungsi  yang akan diangkat.
Menenun kain songket menjadi kebutuhan utama warga Lombok khususnya Desa Sukarara karena dalam pesta pernikahan perempuan wajib memberikan kain tenun buatan sendiri kepada pasangan. Kepercayaan masyarakat setempat adalah perempuan yang tidak bisa menenun akan kesulitan mendapatkan jodoh. Bahkan ada semacam peraturan, wanita yang belum bisa menenun dilarang menikah. Kegiatan menenun dilakukan oleh wanita sembari menunggu para suami mereka pulang bertani dari ladang.
Kerajinan kain songket di Desa Sukarara merupakan industri rumah tangga. Dalam prosesnya, songket yang dihasilkan tidak hanya digunakan untuk pakaian namun juga mempunyai fungsi dekoratif sebagai pelengkap ornamen interior rumah. Songket Sukarara memiliki ciri khas dengan pola tradisional timur dan penggunaan benang songket emas. Pola dan pewarnaan yang digunakan oleh wanita-wanita Desa Sukarara merupakan nilai yang diberikan turun temurun dan lestari dari generasi sebelumnya. Biasanya keahlian menenun didapatkan dari ibu yang diwariskan ke anak perempuannya. Begitu seterusnya sehingga motif dan warnanya terjaga sekaligus menjadi ciri khas songket Lombok.
Alat tenun kain songket merupakan alat tenun yang digunakan untuk menghasilkan kain. Alat tenun kain songket Desa Sukarara adalah alat tenun yang sebagian besar masih menggunakan peralatan-peralatan dari bahan kayu, dan cara penggunaanya juga tradisional dan manual. Penenun kain songket biasanya duduk di tanah beralaskan tikar/kain atau di sebuah balai-balai dengan kaki diselonjorkan lurus kedepan sehingga mempermudah mereka dalam proses menenun kain songket.


 Gambar  : Wanita Penenun kain songket
Alat tenun kain songket di Desa Sukarara merupakan alat tenun yang diwariskan secara turun-temurun. Seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan yang sadar akan pentingnya menjaga warisan leluhur maka lahirlah terobosan-terobosan baru (alat modern) yang mempermudah dalam menenun kain songket namun tetap terjaga kualitas serta nilai estetika dalam tenunan kain songket di Desa Sukarara. Dengan alat model baru yaitu alat pemintal benang berbentuk roda putar yang disatukan dengan alat Kanjian (alat pemintal model lama). Dengan menggunakan alat pemintal model baru hanya membutuhkan kurun waktu 3 jam untuk satu bahan baku kain, sementara dengan menggunakan peralatan lama Kanjian membutuhkan kurun waktu hingga 24 jam untuk satu bahan kain. 
Motif dibuat sesuai dengan keinginan si penenun saat melakukan proses penenunan kain songket yang biasanya mengikuti bentuk-bentuk geometris atau bentuk-bentuk objek lainnya yang divariasikan lagi dengan kreativitas pengrajin tenun kain songket. Motif atau Reragian terbentuk dari persilangan benang pakan dan benang lungsin. Benang pakan adalah benang yang arahnya vertikal atau mengikuti panjang kain tenun songket, sedangkan benang lungsin adalah benang yang fungsi arahnya horizontal atau mengikuti lebar kain tenun songket.
Beberapa jenis serta motif (Reragian) kain tenun songket yang dihasilkan di Desa Sukarara memiliki motif yang bermacam-macam dan memiliki kandungan makna serta nilai estetika yang tinggi. Kain tenun songket Sukarara juga dipercaya memiliki nilai yang sakral dan tidak sembarang orang yang bisa mengenakannya. Motif dan makna akan dikenakan sesuai dengan kondisi si pemakainya.
Kain tenunan Desa Sukarara banyak menggunakan corak flora, fauna, manusia, bentuk –bentuk geometris dan juga bentuk-bentuk tumpal dan mender. Jika diperhatikan baik dari segi penenunan dan penggunaan warna tenunan memiliki kekhasan sendiri, penerapan motif biasanya disesuaikan dengan fungsinya. Kain tenun yang dibuat khusus untuk tujuan kelengkapan upacara, ragam hias akan berbeda dengan kain tenun yang dibuat untuk menghias diri tujuan semata. Untuk jenis  kain tenun yang dibuat untuk kelengkapan upacara biasanya motif dan warna memiliki arti lambang simbolis, karena disini diharapkan tuahnya atau akan mendatangkan kebaikan-kebaikan tersendiri bagi pemakainya. Jenis-jenis motif pada kain songket Desa Sukarara antara lain sebagai berikut :

1.      Motif Subhanale. 

 
Gambar  : Contoh Motif Subhanale
Corak Tenunan Desa Sukarara khususnya dengan motif yang indah dan mempunyai ciri khas tersendiri seperti tenunan yang terkenal dengan motif “Subhanale“. Konon seorang penenun saat itu merasa puas dengan hasil tenunannya serta merta mengucapkan kalimat “Subhanallah“ yang artinya Maha Suci Allah (Tuhan Yang Maha Esa), akibat dipengaruhi ucapannya dan  serta merta mengucapkan kalimat tersebut suatu ungkapan kata yang mengagungkan Allah, maka lahirlah nama Subhanale.
Motif subhanale mempunyai makna keikhlasan dan kesabaran serta berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada mulanya yang dinamakan Motif Subhanalle adalah motif geometris segi enam, didalamnya diberi isian atu dekorasi berbagai bentuk bunga seperti bunga remawa, kenanga, tanjung, warna dasar kain merah atau hitam bergaris-garis geometris warna kuning. Dan motif Subhanalle banyak ragamnya . Penggunaan biasanya digunakan oleh kaum pria dan wanita untuk pakaian acara pesta atau upacara adat.

2.      Motif Serat Penginang.

 



Gambar  : Contoh Motif Serat Penginang

Dalam bahasa Sasak “Serat Penginang“ yang berarti  tempat menginang (Makan Sirih), bentuk motif corak ini menggambarkan kotak-kotak segi empat dan diberikan hisan motif binatang, tepak dara dan garis silang menyilang dapat digunakan oleh pria dan wanita dalam upacara adat. Motif ini memiliki makna manusia harus memiliki sikap kebersamaan dan rukun terhadap sesama manusia.


3.      Motif Ragi Genep.
 



Gambar  : Contoh Motif Ragi Genep

Ragi adalah ungkapan dalam bahasa Sasak berarti syarat, tata cara “Genep“ berarti cukup. Makna ungkapan ini ialah orang yang hendak berpergian sebaiknya berpakaian harus memenuhi syarat (tata cara/norma) yang berlaku di masyarakat dan biasa dipakai sarung dan dapat dipakai sehari-hari baik   oleh pria atau  wanita. Pria untuk dodot. Wanita sebagai Selendang.

4.      Motif Bintang Empat
 




Gambar  : Contoh Motif Bintang Empat

Corak kotak-kotak warna merah dan hijau muda atau garis-garis mendatar dengan warna merah dan hitam. Penggambaran bentuk bintang empat menyerupai bunga ceplok. Istilah bintang empat berhubungan dengan arah mata angin yang diambil sebagai inpirasi keluarnya bintang timur pada pagi hari pertanda bahwa fajar segera tiba. Motif  bintang empat  juga menceritakan tentang penanggalan zaman nenek moyang untuk mengetahui musim hujan dengan musim panas.
Kain bintang Empat dan Ragi Genep merupakan pasangan kain yang harus dipersiapkan bagi perempuan yang mau menikah untuk dibawa sebagai hadiah sang suami.

5.      Motif Keker.

 




Gambar  : Contoh Motif Keker

Motif Keker menggambarkan kedamaian dalam memadu kasih bernaung di bawah pohon sebagai motif dasar benang katun dan berkembang menjadi benang sutra dan diberikan motif berbahan benang emas atau perak. Penggunaannya adalah untuk pakaian pesta.
  
6.      Motif Wayang.

 




Gambar  : Contoh Motif Wayang

Ada beberapa bentuk ragam hias Wayang, pada prinsipnya wayang selalu digambarkan berpasang-pasangan diselingi atau diapit oleh paying atau pohon hayat, makna dari corak ini bahwa manusia tidak bisa hidup secara individu sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk bermusyawarah dibawah naungan paying agung, pohon hayat adalah lambang kehidupan. Kain dengan motif ini digunakan untuk pesta atau upacara adat baik laki-laki atau perempuan.

7.      Motif Panah.



Gambar  : Contoh Motif Panah
Ragam hias Panah, motif ini melambangkan atau mencerminkan sifat jujur seperti anak panah yang jalannya meluncur lurus dengan geometris dasar warna terang dengan motif anak panah. Kain motif ini biasanya dikenakan pada kaum pria pada acara adat “nyongkolan” (acara berkunjung keluarga mempelai laki-laki ke keluarga mempelai perempuan diiringi kesenian “gendang beleq”).

8.      Motif Bintang Remawe.
 


Gambar  : Contoh Motif Bintang Remawe

Ragam hias Remawe berupa corak kotak-kotak yang diciptakan dengan menenun lunsi dan pakan yang warnanya berbeda . Di dalam kotak-kotak tersebut diberikan hiasan motif kembang  remawa mekar, biasanya dipadukan dengan motif kupu-kupu. Kain motif ini biasanya dikenakan para gadis-gadis di Pulau Lombok.


9.      Motif Bulan Berkurung.
 




Gambar  : Contoh Motif Bulan Berkurung
Ragam hias Bulan Berkurung dirajut dengan geometris segi enam dengan aksesoris bintang berjumlah enam dengan dasar warna yang cerah divariasi  motif lambe dan pucuk rebung. Motif bulan berkurung dikaitkan dengan kebesaran tuhan yang harus selalu diingat dan disyukuri. Kain motif ini biasanya dikenakan pada wanita atau pria pada bulan madu sebagai sarung.
10.  Motif Bulan Bergantung.

Gambar  : Contoh Motif Bulan Bergantung
Ragam hias Bulan Bergantung dilingkaran matahari dihiasi dengan bintang-bintang dan variasi dengan kembang dan dibawah diberikan variasi lambe dan pucuk rebung. Kain motif ini biasanya dikenakan pada wanita atau pria pada acara/upacara adat.

11.  Motif Nanas. 
 


Gambar  : Contoh Motif Nanas

Motif nanas menceritakan tentang masyarakat lombok biasanya menanam pohon nanas sebagai mata pencaharian tambahan Motif ini digunakan sebagai bahan pakaian atau sarung. Kain motif ini biasanya dikenakan pada kaum pria dan wanita untuk pakaian sehari-hari.

12.  Motif Anteng.
 




Gambar  : Contoh Motif Anteng
Motif Anteng biasa digunakan untuk kain sabuk atau pengikat pinggang  kaum wanita  yang penggunaannya untuk pakaian sehari-hari atau upacara Nyongkol (acara berkunjung mempelai laki-laki ke keluarga mempelai perempuan). Motif Anteng coraknya jalur-jalur lurus membujur searah dengan benang lungsinya berwarna kuning, hijau dan lainnya dan kedua ujungnya berumbai, diperuntukkan untuk kaum wanita dan digunakan untuk pakaian pada upacara adat.
Kerajinan Kain Tenun Songket di Desa Sukarara memiliki banyak jenis hasil kain tenun songket serta motif yang dihasilkan menggunakan bahan-bahan alami yang diambil dari alam. Hasil kain tenun songket yang memiliki nilai-nilai sejarah karena keunikan motifnya dan memiliki makna (Simbol) hingga saat ini tetap dijaga keasliannya oleh para pengerajin kain songket Desa Sukarara.
Namun seiring dengan perkembangan zaman pada saat ini para pengerajin kain tenun songket menciptakan motif-motif baru yang jenisnya bervariasi, itu semua dibuat karena permintaan dari pemesan kain. Para pengerajin kain songket Desa Sukarara meski menciptakan motif-motif baru karena pengaruh zaman dan permintaan dari pemesan namun tetap diutamakan kualitas kain harus bagus dan makna (Simbol) harus tetap terjaga estetika yang terkandung dalam kain songket tersebut. Dengan adanya terobosan baru baik pada alat maupun bahan dasar yang digunakan pada saat ini, maka akan mempermudah dalam proses penenunannya sehingga hasil tenunan Songket Sukarara memiliki ragam jenis dan motif yang bervariasi dan lengkap.
Kain songket yang dihasilkan tidak hanya digunakan untuk pakaian namun juga mempunyai fungsi dekoratif sebagai pelengkap ornamen interior rumah. Songket Sukarara memiliki ciri khas dengan pola tradisional timur dan penggunaan benang songket emas. Pola dan pewarnaan yang digunakan oleh wanita-wanita Desa Sukarara merupakan nilai yang diberikan turun temurun dan lestari dari generasi sebelumnya. Biasanya keahlian menenun didapatkan dari ibu yang diwariskan ke anak perempuan. Begitu seterusnya sehingga tak ayal lagi motif dan warnanya terjaga sekaligus menjadi ciri khas songket Lombok.

B.              KAJIAN EPISTEMOLOGI

Sukarara adalah nama sebuah desa sekitar 15 menit dari selatan Kota Mataram dan sekitar 3 kilometer barat Kota Praya tepatnya berada di Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Desa ini berpopulasi sekitar 150 kepala keluarga yang semuanya memiliki alat tenun tradisional. Desa ini merupakan salah satu desa yang paling menarik untuk dikunjungi oleh para Wisatawan Asing atau Wisatawan Lokal karena kegiatan sehari-hari masyarakat di desa ini adalah menenun, selain bertani dan berdagang atau mengerjakan rutinitas lainnya. Daya tarik desa ini tidak hanya dari hasil industri rumah tangganya yang menawan. Atraksi pada wanita dalam menggerakan alat tenun tradisional diminati oleh wisatawan domestik maupun asing. Para wanita dengan pakaian adat Sasak ini selalu siap mendemonstrasikan keahlian mereka.
Kerajinan kain songket di Desa Sukarara merupakan industri rumah tangga. Dalam proses songket yang dihasilkan tidak hanya digunakan untuk pakaian namun juga mempunyai fungsi dekoratif sebagai pelengkap ornamen interior rumah. Pembuatan kain songket memakan waktu yang lama. Setidaknya membutuhkan waktu satu bulan untuk menghasilkan satu lembar kain dengan lebar 70 - 1,2 meter dan panjang 2 meter. Tingkat kerumitan dan motifnya menentukan harga kain yang rata-rata berkisar antara Rp. 100 ribu hingga Rp. 5 juta perlembar.
Desa Sukarara dikenal menjadi salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi oleh para tamu Nasional maupun Mancanegara. Di sepanjang jalan desa Sukarara ini, terdapat berbagai galeri-galeri tempat menjual dan pameran kain songket hasil kerajinan masyarakat Desa Sukarara. Pertokoan yang terdapat sepanjang jalan Desa Sukarara yang menjadi toko penjualan berbagai jenis kain songket Desa Sukarara. Dengan berdirinya Sanggar khusus untuk belajar menenun kain songket juga menjadi salah satu objek menarik di Desa Sukarara ini, para tamu Nasional Maupun Mancanegara bisa belajar menenun dan belajar bagaimana membentuk Motif atau Ornamen serta bagaimana proses mewarnai kain tenun songket Desa Sukarara.
Penenun kain songket biasanya duduk di tanah beralaskan tikar/kain atau disebuah balai-balai dengan kaki diselonjorkan lurus kedepan sehingga mempermudah mereka dalam proses menenun kain songket. Penenunan kain songket  dilakukan pekerja dengan posisi duduk terus menerus di lantai, yang menimbulkan rasa nyeri pada pekerja, yang berpotensi mengakibatkan keluhan subjektif pada punggung. Karena pada dasarnya pelaksanaan pekerjaan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan norma-norma ergonomi, dapat menyebabkan kelelahan dan gangguan muskuloskletal, bila berlangsung terus menerus untuk waktu yang lama bisa timbul perubahan bentuk tubuh.
Jenis alat dan sarana kerja yang kurang nyaman sering menimbulkan masalah-masalah kesehatan pada pekerja yang menggunakanya, jika digunakan dalam jangka waktu yang lama dalam per-harinya memberikan efek negatif pada kesehatan yang memicu timbulnya penyakit akibat hubungan kerja. Selain hal tersebut sikap punggung yang membungkuk dalam bekerja, membungkuk sambil menyamping, posisi duduk yang kurang baik dan di dukung dengan desakan/ gesekan alat tenun yang buruk pada perut, beresiko menyebabkan penyakit akibat hubungan kerja berupa gangguan musculoskeletal yang dapat menyebabkan kekakuan dan kesakitan pada punggung. Serta jika sikap kerja dengan posisi duduk dengan frekuensi yang lama akan menimbulkan masalah kesehatan pada pekerja, kontraksi otot akan menjadi statis the load pattern lebih kuat dibanding kontraksi dinamis (Anies, 2005).
Keluhan pada punggung atau keluhan muskuloskeletal merupakan keluhan pada otot skeletal yang dirasakan dengan intensitas nyeri yang berbeda-beda, dari nyeri yang ringan sampai nyeri yang sangat sakit. Pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Dimana keluhan pertama dirasakan pada umur 35 tahun dan keluhan terus meningkat seiring bertambahnya umur. Nyeri  punggung dapat merupakan  akibat dari aktifitas kehidupan sehari-hari khususnya dalam pekerjaan yang berkaitan dengan postur tubuh seperti mengemudi, pekerjaan yang membutuhkan duduk yang terus menerus, atau yang lebih jarang nyeri punggung akibat dari beberpa penyakit lain. Sebagian besar kasus nyeri punggung terkait dengan masalah mekanik sederhana, kurang dari 5% menandakan nyeri akar saraf, dan kurang dari 2% menggambarkan tulang patologi punggung yang serius (Elanor Bull dan Graham Archard , 2007).
Nyeri punggung yaitu nyeri yang berkaitan dengan tulang, ligament, dan otot punggung, yang terjadi dari akibat gerakan mengangkat, membungkuk, atau mengejan dangan rasa yang timbul dan sesekali hilang, dan biasanya tidak menandakan kerusakan permanen apapun. Dalam banyak kasus nyeri punggung disebabkan oleh sikap badan yang salah tegang atau kejang otot (Kim Davies, 2007). Menurut A.M Sugeng budiono (2003) membagi 2 faktor yang ada pada manusia keterkaitanya dengan aspek ergonomi yang berpengaruh keluhan muskuloskeletal yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam antara lain seperti usia, jenis kelamin, kekuatan otot, bentuk dan ukuran tubuh dan lainya. Sedangkan faktor dari luar seperti penyakit, status gizi, lingkungan kerja, adat-istiadat dan lainnya.

C.                 KAJIAN AKSIOLOGI

Berbicara tentang wanita memang tidak akan pernah habis, baik dari segi perannya dalam kehidupan rumah tangga maupun kegiatan wanita di luar rumah. Jika dilihat dari tingkat peluang pada saat sekarang ini memang partisipasi kerja wanita sangatlah besar sekali, terutama sekarang dengan pendidikan yang ditempuhnya maka akan semakin mengembangkan kemampuan dan keahlian wanita dalam bekerja. Namun hal yang perlu diperhatikan oleh wanita adalah perlunya keseimbangan antara kepentingan rumah tangga dan pekerjaan yang dijalani. Aktivitas menenun kain songket yang dijadikan sebagai mata pencaharian yang merupakan usaha keluarga memberikan tambahan beban dan tugas rumah tangga yang tidak sedikit. Wanita adalah golongan yang paling efisien dan produktif dalam arti tugas rumah tangga yang rutin dan pada umumnya dapat selalu diselesaikan dari hari ke hari. Beban kerja dalam rumah tangga adalah satu dari dua peran ganda perempuan (Suma’mur, 2009).
Namun karena perempuan juga memiliki kedudukan sebagai pendamping kaum lelaki untuk bersama-sama memikul tanggung jawab membangun keluarganya,  memberikan motivasi kepada mereka untuk memikul tanggung jawab tersebut. Kegiatan menenun kain songket yang merupakan industri rumah tangga (home industry) membuat mereka mesti bekerja semaksimal mungkin tanda mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan dalam bekerja. Padahal ada banyak bahaya yang terdapat pada proses pembuatan kain tenun songket, baik itu bahaya fisik, kimia, maupun psikologis yang dalam jangka waktu yang lama dapat berdampak kepada kesehatan. Berdasarkan objek perlindungan tenaga kerja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tenaga kerja dimana pekerjaan wanita/perempuan di malam hari diatur dalam Pasal 76 UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut :
a.       Pekerjaan perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi.
b.      Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya, bila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi.
c.       Pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi wajib memberikan makanan dan minuman bergizi dan menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
d.      Pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 pagi wajib menyediakan antar jemput.
e.       Tidak mempekerjakan tenaga kerja melebihi ketentuan Pasal 77 ayat (2) yaitu 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu atau 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam seminggu.
f.       Bila pekerjaan membutuhkan waktu yang lebih lama, maka harus ada persetujuan dari tenaga kerja dan hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam sehari dan 14 (empat belas) jam dalam seminggu, dan karena itu pengusaha wajib membayar upah kerja lembur untuk kelebihan jam kerja tersebut. Hal ini merupakan ketentuan dalam Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2).
g.      Tenaga kerja berhak atas waktu istirahat yang telah diatur dalam Pasal 79 ayat (2) yang meliputi waktu istirahat untuk :
1)            Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja.
2)      Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam seminggu.
3)       Cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua belas hari kerja setelah tenaga kerja bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
4)         Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan apabila tenaga kerja telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan tenaga kerja tersebut tidak berhak lagi istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan.
h.    Untuk pekerja wanita, terdapat beberapa hak khusus sesuatu dengan kodrat kewanitaannya, yaitu :
1)            Pekerja wanita yang mengambil cuti haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua (Pasal 81 ayat (1)).
2)            Pekerja wanita berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan/bidan (Pasal 82 ayat (1)).
3)            Pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan sesuai ketentuan dokter kandungan/bidan (Pasal 82 (2)).
4)            Pekerja wanita yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja (Pasal 83).
5)            Pekerja wanita yang mengambil cuti hamil berhak mendapat upah penuh (Pasal 84).

C.                SALUTOGENESIS
Mengutip dari tulisan Imam Muchtarom (2010) menyatakan bahwa di Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 76 sudah diatur tentang norma kerja perempuan, hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa wanita bekerja pun perlu adanya perlindungan yaitu dengan adanya Undang-Undang. Selain itu juga menjaga adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara pihak perusahaan dan pekerja sehingga kelangsungan usaha dapat berjalan dengan lancar dan tingkat kesejahteraan karyawan juga dapat meningkat.
Waktu kerja sesorang menentukan kesehatan yang bersangkutan, efisiensi, efektivitas dan produktifitas kerjanya. Aspek terpenting dalam hal waktu kerja meliputi lamanya sesorang mampu bekerja dengan baik, hubungan antara waktu kerja dan istirahat. Lamanya seseorang bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya 6-10 jam. Sisanya (14-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam berkeluarga dan masyarakat.
Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan lama kerja tersebut biasanya tidak disertai efisiensi, efektifitas dan produktifitas kerja yang optimal, bahkan dalam waktu yang berkepanjangan timbul kecenderungan untuk terjadinya kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit dan kecelakaan. Maka dari itu, istirahat setengah jam setelah 4 jam bekerja terus menerus sangat penting artinya, baik untuk pemulihan kemampuan fisik dan mental maupun pengisian energi yang sumbernya berasal dari makanan. ( Suma’mur PK, 2009).