FILSAFAT PEKERJA WANITA & K3 TENUN SONGKET
DI DESA SUKARARA, LOMBOK TENGAH
Pulau
Lombok adalah salah
satu pulau penghasil kain tenun tradisional songket. Pengrajin kain
tenun songket di daerah Lombok tersebar luas di berbagai pelosok desa, dan
sistem pengerjaannya rata-rata dilakukan secara tradisional menggunakan Alat
Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang memiliki karakteristik, motif, dan makna
tersendiri. Pembuatan kain tenun ini bermula dari masa kerajaan suku Sasak
Lombok dalam bentuk “Kain Purbasari” yang biasanya dibuat atau di desain hanya
untuk anggota keluarga kerajaan (bangsawan) Suku Sasak dalam bentuk “Kain Sarung”.
Dengan berbagai jenis motif dan makna simbol yang memiliki nilai-nilai
spiritual dan disakralkan oleh masyarakat Suku Sasak pada zaman kerajaan pada
saat itu. Seiring
perkembangan zaman,
pada saat ini masyarakat Lombok mengembangkan kerajinan kain tenun sebagai
salah satu produk untuk meningkatkan
perekonomian dan sebagai salah satu pusat pengembangan pariwisata sehingga wisatawan dapat
berkunjung untuk menikmati hasil kerajinan kain tenun Suku Sasak. Berbagai
macam jenis produk yang kini dikembangkan para pengrajin kain tenun songket
seperti bahan pakaian, selimut, hiasan dinding, dan masih banyak yang lainnya
namun itu semua tidak terlepas dari nilai-nilai sepiritual dan memiliki
simbol-simbol tertentu pada setiap jenis tenun kain songket yang dihasilkan
pengrajin.
Pusat
kerajinan kain tenun songket tersebar di NTB (Nusa Tenggara Barat) antara lain
di Desa Pejanggik, Desa Pringgasela Lombok Timur, Desa Rango Kabupaten Dompu,
Kelurahan Raba Kabupaten Kota Bima, Desa Renda Kabupaten Bima, dan Desa
Sukarara Kecamatan Jonggat Lombok Tengah. Pada saat ini, penghasil kain tenun
songket Suku Sasak tradisional Lombok salah satunya adalah Desa Sukarara
Kecamatan Jonggat Lombok Tengah. Masyarakat di Desa Sukarara ini sudah membuat
kerajinan kain tenun songket sejak turun-temurun menggunakan alat tenun
tradisional. Desa ini sangat menarik untuk dikunjungi karena kegiatan di desa
ini, sebagian
besar masyarakatnya melakukan pekerjaan menenun kain songket tradisional. Kegiatan
menenun di Desa Sukarara hanya
dilakukan oleh kaum perempuan dan ini akan ramai pada saat selesai melakukan kegiatan panen
(mengambil hasi bumi), karna penduduk Desa Sukarara sebagiannya lagi bukan
sebagai pengrajin tetap. Para pengerajin di Desa Sukarara melakukan kegiatan
menenun hanya untuk mengisi waktu luang ketika mereka tidak melakukan kegiatan
bertani, bisa dikatakan
menenun dijadikan pekerjaan sampingan. Dan itu berlaku bagi para ibu-ibu yang
tidak terlalu memahami tentang tenun kain songket. Desa Sukarara merupakan
penghasil kain tenun songket unggulan yang memiliki ciri khas motif dan makna
simbol tersendiri sehingga berbeda dari penghasil kain tenun di desa-desa
lainnya.
Ciri
khas motif dan makna simbol dengan warna nan indah dan menawan membuat kain
tenun songket Desa Sukarara sebagai salah satu penghasil songket yang tersohor
sejak zaman kerajaan Suku Sasak. Bukan saja untuk estetika, status sosial atau
sebagai pelindung tubuh dari pengaruh keadaan alam lingkungan, tetapi juga sebagai
sebuah simbol kepercayaan adat yang sakral yang sangat dipercaya dan diyakini
oleh masyarakat Desa Sukarara. Begitu juga bagi pengrajin kain tenun songket
tidak sembarang penenun bisa melakukan pekerjaan ini, terutama untuk pembuatan
kain tenun songket yang memiliki motif dan makna simbol tersendiri seperti kain
tenun songket Subhanala. Kain songket
jenis Subhanala
hanya boleh dibuat oleh seorang gadis dara yang masih perawan dari keturuan
berdarah biru (bangsawan kerajaan) dan yang boleh mengenakan kain tenun songket
Subahnala ini hanya sorang Raja (Raja Panji Sukarara) dan Ratu (Ratu Dinde
Terong Kuning) Suku sasak.
Kerajinan kain
songket Desa Sukarara Kecamatan Jonggat Lombok Tengah merupakan sentral
industri rumah tangga unggulan dimana merupakan bagian dari sumber kerajinan
kain songket Desa Sukarara Lombok Tengah yang didukung oleh tersedianya sumber
daya alam dan sumber daya manusia yang menguasai kerajinan kain songket yang
diwariskan secara turun temurun. Sehingga kelestarian kain songket Desa
Sukarara tetap terjaga kualitas dan estetikanya sampai sekarang.
Pulau Lombok sudah
dikenal dalam sejarah berabad-abad yang silam. Di dalam kitab Nagarakertagama
karya Pujangga Jawa terkenal di abad ke- 14 Mpu Prapanca (1365) nama pulau
Lombok sudah disebutnya di dalam pupuh XIV, bait 3 dan 4 sebagai Lombok Mirah.
Hal ini dikarenakan waktu itu Lombok termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan
Majapahit ( Dalam salam, 1992: 1293-1478 ). Letak pulau Lombok terletak di
Indonesia bagian timur, tepatnya di sebelah timur pulau Bali. Pulau Lombok
merupakan sebuah pulau yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), di
mana pulau Lombok adalah pulau yang didiami oleh Suku Sasak.
Dalam tradisi lisan
warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "Sa'-Saq" yang
artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus.
Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. Banyak juga
yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus (dalam Isromi, 2013: 45). Pada
awalnya sejarah Kain Songket di Desa Sukarara memiliki cerita tersendiri yakni
kain songket ini pertama digunakan oleh seorang raja dan ratu yang bernama
(Raja Panji Sukarara dan Ratu Dinde Terong Kuning). Raja dan ratu ini
menggunakan baju atau sarung songket “subahnala”, karena sebagai raja dan ratu
agar terlihat berwibawa atau lebih terhormat dengan pakaian adat tersebut.
Songket adalah
suatu teknik atau cara memberikan hiasan pada kain tenunan. Songket sendiri
berasal dari “Sungkit“ yang artinya mengangkat beberapa helai benang lungsi
dengan lidi sehingga terjadi lubang-lubang kemudian dapat dimasukan benang
pakan dari benang emas atau perak secara berulang-ulang. Biasanya pola membuat
songket dilakukan dengan cara menghitung banyaknya benang lungsi
yang akan diangkat.
Menenun kain
songket menjadi kebutuhan utama warga Lombok khususnya Desa Sukarara karena
dalam pesta pernikahan perempuan wajib memberikan kain tenun buatan sendiri
kepada pasangan. Kepercayaan masyarakat setempat adalah perempuan yang tidak
bisa menenun akan kesulitan mendapatkan jodoh. Bahkan ada semacam peraturan,
wanita yang belum bisa menenun dilarang menikah. Kegiatan menenun dilakukan
oleh wanita sembari menunggu para suami mereka pulang bertani dari ladang.
Kerajinan kain
songket di Desa Sukarara merupakan industri rumah tangga. Dalam prosesnya,
songket yang dihasilkan tidak hanya digunakan untuk pakaian namun juga
mempunyai fungsi dekoratif sebagai pelengkap ornamen interior rumah. Songket
Sukarara memiliki ciri khas dengan pola tradisional timur dan penggunaan benang
songket emas. Pola dan pewarnaan yang digunakan oleh wanita-wanita Desa
Sukarara merupakan nilai yang diberikan turun temurun dan lestari dari generasi
sebelumnya. Biasanya keahlian menenun didapatkan dari ibu yang diwariskan ke
anak perempuannya. Begitu seterusnya sehingga motif dan warnanya terjaga
sekaligus menjadi ciri khas songket Lombok.
Alat tenun kain
songket merupakan alat tenun yang digunakan untuk menghasilkan kain. Alat tenun
kain songket Desa Sukarara adalah alat tenun yang sebagian besar masih
menggunakan peralatan-peralatan dari bahan kayu, dan cara penggunaanya juga
tradisional dan manual. Penenun kain songket biasanya duduk di tanah beralaskan
tikar/kain atau di sebuah balai-balai dengan kaki diselonjorkan lurus kedepan
sehingga mempermudah mereka dalam proses menenun kain songket.
Gambar : Wanita Penenun kain songket
Alat tenun
kain songket di Desa Sukarara merupakan alat tenun yang diwariskan secara
turun-temurun. Seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan yang sadar akan
pentingnya menjaga warisan leluhur maka lahirlah terobosan-terobosan baru (alat
modern) yang mempermudah dalam menenun kain songket namun tetap terjaga
kualitas serta nilai estetika dalam tenunan kain songket di Desa Sukarara.
Dengan alat model baru yaitu alat pemintal benang berbentuk roda putar yang
disatukan dengan alat Kanjian (alat pemintal model lama). Dengan menggunakan
alat pemintal model baru hanya membutuhkan kurun waktu 3 jam untuk satu bahan
baku kain, sementara dengan menggunakan peralatan lama Kanjian membutuhkan
kurun waktu hingga 24 jam untuk satu bahan kain.
Motif dibuat sesuai dengan keinginan si
penenun saat melakukan proses penenunan kain songket yang biasanya mengikuti
bentuk-bentuk geometris atau bentuk-bentuk objek lainnya yang divariasikan lagi
dengan kreativitas pengrajin tenun kain songket. Motif atau Reragian terbentuk
dari persilangan benang pakan dan benang lungsin. Benang pakan adalah benang
yang arahnya vertikal atau mengikuti panjang kain tenun songket, sedangkan benang
lungsin adalah benang yang fungsi arahnya horizontal atau mengikuti lebar kain
tenun songket.
Beberapa jenis serta motif (Reragian)
kain tenun songket yang dihasilkan di Desa Sukarara memiliki motif yang
bermacam-macam dan memiliki kandungan makna serta nilai estetika yang tinggi. Kain
tenun songket Sukarara juga dipercaya memiliki nilai yang sakral dan tidak
sembarang orang yang bisa mengenakannya. Motif dan makna akan dikenakan sesuai
dengan kondisi si pemakainya.
Kain tenunan Desa Sukarara banyak menggunakan
corak flora, fauna, manusia, bentuk –bentuk geometris dan juga bentuk-bentuk
tumpal dan mender. Jika diperhatikan baik dari segi penenunan dan penggunaan
warna tenunan memiliki kekhasan sendiri, penerapan motif biasanya disesuaikan
dengan fungsinya. Kain tenun yang dibuat khusus untuk tujuan kelengkapan
upacara, ragam hias akan berbeda dengan kain tenun yang dibuat untuk menghias
diri tujuan semata. Untuk jenis kain tenun yang dibuat untuk kelengkapan
upacara biasanya motif dan warna memiliki arti lambang simbolis, karena disini
diharapkan tuahnya atau akan mendatangkan kebaikan-kebaikan tersendiri bagi
pemakainya. Jenis-jenis motif pada kain songket Desa Sukarara antara lain sebagai berikut :
1. Motif Subhanale.
Gambar : Contoh Motif Subhanale
Corak Tenunan Desa Sukarara khususnya dengan motif
yang indah dan mempunyai ciri khas tersendiri seperti tenunan yang terkenal
dengan motif “Subhanale“. Konon
seorang penenun saat itu merasa puas dengan hasil tenunannya serta merta
mengucapkan kalimat “Subhanallah“
yang artinya Maha Suci Allah (Tuhan Yang Maha Esa), akibat dipengaruhi
ucapannya dan serta merta mengucapkan kalimat tersebut suatu ungkapan
kata yang mengagungkan Allah, maka lahirlah nama Subhanale.
Motif subhanale mempunyai makna keikhlasan dan kesabaran
serta berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada mulanya yang dinamakan Motif
Subhanalle adalah motif geometris segi enam, didalamnya diberi isian atu
dekorasi berbagai bentuk bunga seperti bunga remawa, kenanga, tanjung, warna
dasar kain merah atau hitam bergaris-garis geometris warna kuning. Dan motif
Subhanalle banyak ragamnya . Penggunaan biasanya digunakan oleh kaum pria dan
wanita untuk pakaian acara pesta atau upacara adat.
2. Motif Serat Penginang.
Gambar : Contoh
Motif Serat Penginang
Dalam bahasa Sasak “Serat Penginang“ yang berarti tempat menginang (Makan Sirih),
bentuk motif corak ini menggambarkan kotak-kotak segi empat dan diberikan hisan
motif binatang, tepak dara dan garis silang menyilang dapat digunakan oleh pria
dan wanita dalam upacara adat. Motif ini memiliki makna manusia harus memiliki
sikap kebersamaan dan rukun terhadap sesama manusia.
3. Motif Ragi Genep.
Gambar : Contoh
Motif Ragi Genep
Ragi adalah ungkapan dalam bahasa Sasak
berarti syarat, tata cara “Genep“
berarti cukup. Makna ungkapan ini ialah orang yang hendak berpergian sebaiknya
berpakaian harus memenuhi syarat (tata cara/norma) yang berlaku di masyarakat
dan biasa dipakai sarung dan dapat dipakai sehari-hari baik oleh
pria atau wanita. Pria untuk dodot. Wanita sebagai Selendang.
4. Motif Bintang Empat
Gambar : Contoh
Motif Bintang Empat
Corak kotak-kotak warna merah dan hijau
muda atau garis-garis mendatar dengan warna merah dan hitam. Penggambaran
bentuk bintang empat menyerupai bunga ceplok. Istilah bintang empat berhubungan
dengan arah mata angin yang diambil sebagai inpirasi keluarnya bintang timur
pada pagi hari pertanda bahwa fajar segera tiba. Motif bintang
empat juga menceritakan
tentang penanggalan zaman nenek moyang untuk mengetahui musim hujan dengan
musim panas.
Kain bintang Empat dan Ragi Genep
merupakan pasangan kain yang harus dipersiapkan bagi perempuan yang mau menikah
untuk dibawa sebagai hadiah sang suami.
5.
Motif
Keker.
Gambar : Contoh Motif Keker
Motif Keker menggambarkan kedamaian dalam
memadu kasih bernaung di bawah pohon sebagai motif dasar benang katun dan
berkembang menjadi benang sutra dan diberikan motif berbahan benang emas atau
perak. Penggunaannya adalah untuk pakaian pesta.
6. Motif Wayang.
Gambar : Contoh
Motif Wayang
Ada beberapa bentuk ragam hias Wayang,
pada prinsipnya wayang selalu digambarkan berpasang-pasangan diselingi atau
diapit oleh paying atau pohon hayat, makna dari corak ini bahwa manusia tidak
bisa hidup secara individu sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk
bermusyawarah dibawah naungan paying agung, pohon hayat adalah lambang
kehidupan. Kain dengan motif ini digunakan untuk pesta atau upacara adat baik
laki-laki atau perempuan.
7. Motif Panah.
Gambar : Contoh
Motif Panah
Ragam hias Panah, motif ini melambangkan
atau mencerminkan sifat jujur seperti anak panah yang jalannya meluncur lurus
dengan geometris dasar warna terang dengan motif anak panah. Kain motif ini
biasanya dikenakan pada kaum pria pada acara adat “nyongkolan” (acara
berkunjung keluarga mempelai laki-laki ke keluarga mempelai perempuan diiringi
kesenian “gendang beleq”).
8. Motif Bintang Remawe.
Gambar : Contoh
Motif Bintang Remawe
Ragam hias Remawe berupa corak kotak-kotak yang diciptakan dengan
menenun lunsi dan pakan yang warnanya berbeda . Di dalam kotak-kotak tersebut
diberikan hiasan motif kembang remawa mekar, biasanya dipadukan dengan
motif kupu-kupu. Kain motif ini biasanya dikenakan para gadis-gadis di Pulau
Lombok.
9. Motif Bulan Berkurung.
Gambar : Contoh Motif Bulan Berkurung
Ragam hias Bulan Berkurung dirajut dengan geometris segi enam dengan
aksesoris bintang berjumlah enam dengan dasar warna yang cerah divariasi motif
lambe dan pucuk rebung. Motif bulan
berkurung dikaitkan dengan kebesaran tuhan yang harus selalu diingat dan disyukuri. Kain
motif ini biasanya dikenakan pada wanita atau pria pada bulan madu sebagai
sarung.
10. Motif Bulan Bergantung.
Gambar : Contoh Motif Bulan Bergantung
Ragam hias Bulan Bergantung dilingkaran
matahari dihiasi dengan bintang-bintang dan variasi dengan kembang dan dibawah
diberikan variasi lambe dan pucuk rebung. Kain motif ini biasanya dikenakan
pada wanita atau pria pada acara/upacara adat.
11. Motif Nanas.
Gambar : Contoh
Motif Nanas
Motif nanas menceritakan tentang masyarakat lombok
biasanya menanam pohon nanas sebagai mata pencaharian tambahan Motif
ini digunakan sebagai bahan pakaian atau sarung. Kain motif ini biasanya
dikenakan pada kaum pria dan wanita untuk pakaian sehari-hari.
12. Motif Anteng.
Gambar : Contoh Motif Anteng
Motif Anteng biasa digunakan untuk kain
sabuk atau pengikat pinggang kaum wanita yang penggunaannya untuk
pakaian sehari-hari atau upacara Nyongkol (acara berkunjung mempelai laki-laki
ke keluarga mempelai perempuan). Motif Anteng coraknya jalur-jalur lurus
membujur searah dengan benang lungsinya berwarna kuning, hijau dan lainnya dan
kedua ujungnya berumbai, diperuntukkan untuk kaum wanita dan digunakan untuk
pakaian pada upacara adat.
Kerajinan Kain Tenun Songket di Desa
Sukarara memiliki banyak jenis hasil kain tenun songket serta motif yang
dihasilkan menggunakan bahan-bahan alami yang diambil dari alam. Hasil kain
tenun songket yang memiliki nilai-nilai sejarah karena keunikan motifnya dan
memiliki makna (Simbol) hingga saat ini tetap dijaga keasliannya oleh para
pengerajin kain songket Desa Sukarara.
Namun seiring dengan perkembangan zaman
pada saat ini para pengerajin kain tenun songket menciptakan motif-motif baru
yang jenisnya bervariasi, itu semua dibuat karena permintaan dari pemesan kain.
Para pengerajin kain songket Desa Sukarara meski menciptakan motif-motif baru
karena pengaruh zaman dan permintaan dari pemesan namun tetap diutamakan
kualitas kain harus bagus dan makna (Simbol) harus tetap terjaga estetika yang
terkandung dalam kain songket tersebut. Dengan adanya terobosan baru baik pada
alat maupun bahan dasar yang digunakan pada saat ini, maka akan mempermudah
dalam proses penenunannya sehingga hasil tenunan Songket Sukarara memiliki
ragam jenis dan motif yang bervariasi dan lengkap.
Kain songket yang
dihasilkan tidak hanya digunakan untuk pakaian namun juga mempunyai fungsi
dekoratif sebagai pelengkap ornamen interior rumah. Songket Sukarara memiliki
ciri khas dengan pola tradisional timur dan penggunaan benang songket emas.
Pola dan pewarnaan yang digunakan oleh wanita-wanita Desa Sukarara merupakan
nilai yang diberikan turun temurun dan lestari dari generasi sebelumnya.
Biasanya keahlian menenun didapatkan dari ibu yang diwariskan ke anak
perempuan. Begitu seterusnya sehingga tak ayal lagi motif dan warnanya terjaga
sekaligus menjadi ciri khas songket Lombok.
Sukarara adalah
nama sebuah desa sekitar 15 menit dari selatan Kota Mataram dan sekitar 3
kilometer barat Kota Praya tepatnya berada di Kecamatan Jonggat, Kabupaten
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Desa ini berpopulasi sekitar 150 kepala
keluarga yang semuanya memiliki alat tenun tradisional. Desa ini merupakan
salah satu desa yang paling menarik untuk dikunjungi oleh para Wisatawan Asing
atau Wisatawan Lokal karena kegiatan sehari-hari masyarakat di desa ini adalah
menenun, selain bertani dan berdagang atau mengerjakan rutinitas lainnya. Daya
tarik desa ini tidak hanya dari hasil industri rumah tangganya yang menawan.
Atraksi pada wanita dalam menggerakan alat tenun tradisional diminati oleh
wisatawan domestik maupun asing. Para wanita dengan pakaian adat Sasak ini
selalu siap mendemonstrasikan keahlian mereka.
Kerajinan kain
songket di Desa Sukarara merupakan industri rumah tangga. Dalam proses songket
yang dihasilkan tidak hanya digunakan untuk pakaian namun juga mempunyai fungsi
dekoratif sebagai pelengkap ornamen interior rumah. Pembuatan kain songket
memakan waktu yang lama. Setidaknya membutuhkan waktu satu bulan untuk
menghasilkan satu lembar kain dengan lebar 70 - 1,2 meter dan panjang 2 meter.
Tingkat kerumitan dan motifnya menentukan harga kain yang rata-rata berkisar
antara Rp. 100 ribu hingga Rp. 5 juta perlembar.
Desa Sukarara
dikenal menjadi salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi oleh para tamu
Nasional maupun Mancanegara. Di sepanjang jalan desa Sukarara ini, terdapat
berbagai galeri-galeri tempat menjual dan pameran kain songket hasil kerajinan
masyarakat Desa Sukarara. Pertokoan yang terdapat sepanjang jalan Desa Sukarara
yang menjadi toko penjualan berbagai jenis kain songket Desa Sukarara. Dengan
berdirinya Sanggar khusus untuk belajar menenun kain songket juga menjadi salah
satu objek menarik di Desa Sukarara ini, para tamu Nasional Maupun Mancanegara
bisa belajar menenun dan belajar bagaimana membentuk Motif atau Ornamen serta
bagaimana proses mewarnai kain tenun songket Desa Sukarara.
Penenun kain
songket biasanya duduk di tanah beralaskan tikar/kain atau disebuah balai-balai
dengan kaki diselonjorkan lurus kedepan sehingga mempermudah mereka dalam
proses menenun kain songket. Penenunan kain songket dilakukan pekerja dengan posisi duduk terus
menerus di lantai, yang menimbulkan rasa nyeri pada pekerja, yang berpotensi
mengakibatkan keluhan subjektif pada punggung. Karena pada dasarnya pelaksanaan
pekerjaan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan norma-norma ergonomi, dapat
menyebabkan kelelahan dan gangguan muskuloskletal, bila berlangsung terus
menerus untuk waktu yang lama bisa timbul perubahan bentuk tubuh.
Jenis alat dan
sarana kerja yang kurang nyaman sering menimbulkan masalah-masalah kesehatan
pada pekerja yang menggunakanya, jika digunakan dalam jangka waktu yang lama
dalam per-harinya memberikan efek negatif pada kesehatan yang memicu timbulnya
penyakit akibat hubungan kerja. Selain hal tersebut sikap punggung yang
membungkuk dalam bekerja, membungkuk sambil menyamping, posisi duduk yang
kurang baik dan di dukung dengan desakan/ gesekan alat tenun yang buruk pada
perut, beresiko menyebabkan penyakit akibat hubungan kerja berupa gangguan
musculoskeletal yang dapat menyebabkan kekakuan dan kesakitan pada punggung.
Serta jika sikap kerja dengan posisi duduk dengan frekuensi yang lama akan menimbulkan
masalah kesehatan pada pekerja, kontraksi otot akan menjadi statis the load pattern lebih kuat dibanding kontraksi dinamis
(Anies, 2005).
Keluhan pada
punggung atau keluhan muskuloskeletal merupakan keluhan pada otot skeletal yang
dirasakan dengan intensitas nyeri yang berbeda-beda, dari nyeri yang ringan
sampai nyeri yang sangat sakit. Pada umumnya keluhan otot skeletal mulai
dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Dimana keluhan pertama dirasakan
pada umur 35 tahun dan keluhan terus meningkat seiring bertambahnya umur.
Nyeri punggung dapat merupakan akibat dari aktifitas kehidupan sehari-hari
khususnya dalam pekerjaan yang berkaitan dengan postur tubuh seperti mengemudi,
pekerjaan yang membutuhkan duduk yang terus menerus, atau yang lebih jarang
nyeri punggung akibat dari beberpa penyakit lain. Sebagian besar kasus nyeri
punggung terkait dengan masalah mekanik sederhana, kurang dari 5% menandakan
nyeri akar saraf, dan kurang dari 2% menggambarkan tulang patologi punggung
yang serius (Elanor Bull dan Graham Archard , 2007).
Nyeri punggung
yaitu nyeri yang berkaitan dengan tulang, ligament, dan otot punggung, yang
terjadi dari akibat gerakan mengangkat, membungkuk, atau mengejan dangan rasa
yang timbul dan sesekali hilang, dan biasanya tidak menandakan kerusakan
permanen apapun. Dalam banyak kasus nyeri punggung disebabkan oleh sikap badan
yang salah tegang atau kejang otot (Kim Davies, 2007). Menurut A.M Sugeng budiono (2003) membagi 2 faktor yang ada pada manusia
keterkaitanya dengan aspek ergonomi yang berpengaruh keluhan muskuloskeletal
yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam antara lain
seperti usia, jenis kelamin, kekuatan otot, bentuk dan ukuran tubuh dan lainya.
Sedangkan faktor dari luar seperti penyakit, status gizi, lingkungan kerja,
adat-istiadat dan lainnya.
Berbicara tentang wanita memang tidak akan pernah habis,
baik dari segi perannya dalam kehidupan rumah tangga maupun kegiatan wanita di
luar rumah. Jika dilihat dari tingkat peluang pada saat sekarang ini memang
partisipasi kerja wanita sangatlah besar sekali, terutama sekarang dengan
pendidikan yang ditempuhnya maka akan semakin mengembangkan kemampuan dan
keahlian wanita dalam bekerja. Namun hal yang perlu diperhatikan oleh wanita
adalah perlunya keseimbangan antara kepentingan rumah tangga dan pekerjaan yang
dijalani. Aktivitas menenun kain songket yang dijadikan sebagai mata
pencaharian yang merupakan usaha keluarga memberikan tambahan beban dan tugas
rumah tangga yang tidak sedikit. Wanita adalah golongan yang paling efisien dan
produktif dalam arti tugas rumah tangga yang rutin dan pada umumnya dapat
selalu diselesaikan dari hari ke hari. Beban kerja dalam rumah tangga adalah
satu dari dua peran ganda perempuan (Suma’mur, 2009).
Namun karena perempuan juga memiliki kedudukan sebagai
pendamping kaum lelaki untuk bersama-sama memikul tanggung jawab membangun
keluarganya, memberikan motivasi kepada
mereka untuk memikul tanggung jawab tersebut. Kegiatan menenun kain songket
yang merupakan industri rumah tangga (home industry) membuat mereka mesti
bekerja semaksimal mungkin tanda mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan
dalam bekerja. Padahal ada banyak bahaya yang terdapat pada proses pembuatan kain
tenun songket, baik itu bahaya fisik, kimia, maupun psikologis yang dalam
jangka waktu yang lama dapat berdampak kepada kesehatan. Berdasarkan objek
perlindungan tenaga kerja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur tenaga kerja dimana pekerjaan wanita/perempuan di
malam hari diatur dalam Pasal 76 UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
yaitu sebagai berikut :
a.
Pekerjaan perempuan yang berumur kurang
dari 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul
07.00 pagi.
b.
Pengusaha dilarang mempekerjakan
pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan
dan keselamatan kandungannya maupun dirinya, bila bekerja antara pukul 23.00
sampai dengan pukul 07.00 pagi.
c.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja
perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi wajib memberikan
makanan dan minuman bergizi dan menjaga kesusilaan dan keamanan selama di
tempat kerja.
d.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja
perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 pagi wajib menyediakan
antar jemput.
e.
Tidak mempekerjakan tenaga kerja
melebihi ketentuan Pasal 77 ayat (2) yaitu 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat
puluh) jam seminggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu atau 8 (delapan)
jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam
seminggu.
f.
Bila pekerjaan membutuhkan waktu yang
lebih lama, maka harus ada persetujuan dari tenaga kerja dan hanya dapat
dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam sehari dan 14 (empat belas) jam
dalam seminggu, dan karena itu pengusaha wajib membayar upah kerja lembur untuk
kelebihan jam kerja tersebut. Hal ini merupakan ketentuan dalam Pasal 78 ayat
(1) dan ayat (2).
g.
Tenaga kerja berhak atas waktu
istirahat yang telah diatur dalam Pasal 79 ayat (2) yang meliputi waktu
istirahat untuk :
1)
Istirahat antara jam kerja,
sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus
menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja.
2) Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk
6 (enam) hari kerja dalam seminggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja
dalam seminggu.
3) Cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua
belas hari kerja setelah tenaga kerja bekerja selama 12 (dua belas) bulan
secara terus menerus.
4) Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2
(dua) bulan apabila tenaga kerja telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara
terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan tenaga kerja tersebut
tidak berhak lagi istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan.
h. Untuk pekerja wanita, terdapat beberapa
hak khusus sesuatu dengan kodrat kewanitaannya, yaitu :
1)
Pekerja wanita yang mengambil cuti haid
tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua (Pasal 81 ayat (1)).
2)
Pekerja wanita berhak memperoleh
istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan/bidan (Pasal 82 ayat (1)).
3)
Pekerja wanita yang mengalami keguguran
kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan sesuai ketentuan dokter
kandungan/bidan (Pasal 82 (2)).
4)
Pekerja wanita yang anaknya masih
menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu
harus dilakukan selama waktu kerja (Pasal 83).
5)
Pekerja wanita yang mengambil cuti
hamil berhak mendapat upah penuh (Pasal 84).
C.
SALUTOGENESIS
Mengutip dari tulisan Imam Muchtarom (2010) menyatakan
bahwa di Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 76 sudah
diatur tentang norma kerja perempuan, hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa
wanita bekerja pun perlu adanya perlindungan yaitu dengan adanya Undang-Undang.
Selain itu juga menjaga adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara pihak
perusahaan dan pekerja sehingga kelangsungan usaha dapat berjalan dengan lancar
dan tingkat
kesejahteraan karyawan juga dapat meningkat.
Waktu kerja
sesorang menentukan kesehatan yang bersangkutan, efisiensi, efektivitas dan
produktifitas kerjanya. Aspek terpenting dalam hal waktu kerja meliputi lamanya
sesorang mampu bekerja dengan baik, hubungan antara waktu kerja dan istirahat.
Lamanya seseorang bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya 6-10 jam.
Sisanya (14-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam berkeluarga dan masyarakat.
Memperpanjang waktu
kerja lebih dari kemampuan lama kerja tersebut biasanya tidak disertai
efisiensi, efektifitas dan produktifitas kerja yang optimal, bahkan dalam waktu
yang berkepanjangan timbul kecenderungan untuk terjadinya kelelahan, gangguan kesehatan,
penyakit dan kecelakaan. Maka dari itu, istirahat setengah jam setelah 4 jam
bekerja terus menerus sangat penting artinya, baik untuk pemulihan kemampuan
fisik dan mental maupun pengisian energi yang sumbernya berasal dari makanan. (
Suma’mur PK, 2009).